Motivasi Dosa dan Perlunya Bertobat

  • Whatsapp
A silhouette of a man praying at sunset. Model is handsome Caucasian male in his 30s with unrecognizable side view. Model is folding his hands and bowing his head. Themes include meditation, spirituality, balance, freedom, vitality, hope, hurt, problems, addiction, struggle, anguish, help, god, healing, recovery, perseverance, coping, courage, strength, men, and asking for help.

Ayat Bacaan : Lukas 9:46-48; Yohanes 21:17-18

Dalam Lukas pasal 9 terdapat essensi kehidupan manusia. Kegagalan orang Kristen untuk memahami siapa manusia yang sesungguhnya akan membuatnya terjebak ke dalam format dimana ia menjadi orang palsu yang sebenarnya tak mengerti arah hidupnya. Problemnya bukan di permukaan dan jalannya juga bukan di fenomena tapi sungguh masuk ke hakekat terdalam.

Read More

Sikap para murid Tuhan Yesus justru seringkali tak sesuai konsep kerohanian. Ketika kelihatan sangat baik, setia, giat melayani dan saleh beragama, ternyata di belakangNya mereka bertengkar mengenai siapa yang terbesar hingga berhak duduk di sebelah Tuhan. Motivasi mereka sebenarnya adalah mencari keuntungan. Mereka pikir akan memiliki prospek besar kelak ketika Kristus menjadi Raja. Maka Tuhan memberi kritikan tajam.

Iman kepercayaan tentu mempengaruhi cara berpikir dan pengambilan keputusan. Lalu pemikiran akan mempengaruhi tindakan. Inilah pendapat Francis Schaeffer, “I do what I think and I think what I believe” (Saya melakukan apa yang saya pikirkan dan saya memikirkan apa yang saya percaya). Jadi, kepercayaan juga mempengaruhi tindakan. Dan tak ada tindakan yang tak berakibat. Salah bertindak pasti berakibat buruk yang akan membawanya ke Neraka. Sebaliknya, jika imannya benar maka cara berpikir pun tepat hingga mampu mengambil keputusan dengan baik, bertindak benar dan membuahkan hasil yang kelak membawanya pada kehidupan kekal di Surga.

Ternyata selama mengikut Kristus, belum ada komitmen dalam hati para murid untuk merubah iman secara total. Ketika memberitakan Injil dan mengerjakan segalanya dengan bertanggung jawab, mereka bertindak bukan dengan jiwa pelayanan yang sungguh kepadaNya karena tujuan akhir mereka adalah untuk mencapai prestasi hingga akhirnya meminta Tuhan memberikan posisi tertinggi. Orang semacam itu tak mungkin beriman melainkan sangat humanis. Ia berusaha mencelakakan Kekristenan dengan meninggikan diri secara tersembunyi. Mereka telah mempermainkan Tuhan namun tak berhasil karena Ia mengetahui semuanya termasuk pemikiran, keinginan serta isi hati. Di akhir seluruh pelayananNya sebelum naik ke Surga, Ia sempat bertemu dengan Petrus terakhir kalinya untuk merubahnya secara essensial. 

Kemudian Tuhan Yesus mengambil anak kecil dan menempatkannya di sampingNya. Dalam bahasa Yunani, ada 2 istilah anak kecil yaitu teknon (anak pada umumnya) dan paidion (invent). Dalam konteks ini, yang dimaksudkan adalah anak balita dan bukan a child. Lalu Yesus mengatakan, “Barangsiapa menyambut anak ini dalam namaKu, ia menyambut Aku; dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar” (Lukas 9:48). Prinsip ini bersifat paradoxical dan diungkapkan untuk memutarbalik pikiran mereka yang terlalu egois dan kehilangan prinsip kebenaran.

Di tengah dunia, orang Kristen dikunci dengan pemahaman bahwa manusia  dewasa pasti memiliki banyak pengetahuan, informasi dan pengalaman. Mereka sebenarnya tak mengerti proses yang dialami. Terkadang orang dewasa tak menyadari arti proses bagi hidupnya. Maka ia perlu belajar beberapa aspek dari anak kecil (invent).

Pertamaorang dewasa seringkali kehilangan ketulusan hati. Anak balita masih memiliki pure heart (hati yang murni). Perkataan dan tindakannya sungguh keluar dari kemurnian. Makin dewasa, pikirannya semakin tricky hingga mampu menutupi keberdosaannya. Karena dosa yang sangat jahat, hidup manusia berproses bukannya makin suci dan benar melainkan liar dan rusak. Akhirnya, ia kehilangan hubungan sejati dengan Tuhan.

Di depan Tuhan, para murid bersikap manis. Di belakangNya, mereka memiliki trick untuk mencari pengganti Tuhan yang kelak akan menjadi Raja atas segala raja dengan kedaulatan lebih besar daripada Romawi. Manusia boleh menjadi dewasa dengan pengetahuan yang makin banyak tapi jangan kehilangan kemurnian seperti anak kecil.

KeduaTuhan Yesus menghendaki orang dewasa kembali belajar dengan anak kecil yang selalu mempertahankan integrity yaitu hidup dalam kemurnian, kesungguhan, kebenaran dan kesucian. Ia menunjukkan bahwa anak kecil memiliki jiwa yang mau belajar dengan melihat, meneladani, menyerap dan meniru orang tuanya karena sungguh ingin bertumbuh. Kalau orangtua salah mendidik atau kurang memperhatikannya maka seumur hidup ia akan sulit diubah karena telah menerima ajaran yang salah. Tapi, orang dewasa merasa tak perlu belajar. Kalaupun belajar, mereka hanya mencari informasi yang menkonfirmasikan atau sesuai dengan prinsip diri karena tak bersedia dibentuk dan diubah. Maka Kekristenan mengajak orang dewasa untuk merubah jiwa, karakter dan hidupnya hingga menjadi lebih baik. Ketika mempelajari Firman, seringkali bukan untuk diri sendiri melainkan orang lain. Padahal seharusnya, Firman Tuhan sanggup merubah sikap hidup dan jiwa pelayanan orang Kristen hingga makin tunduk di hadapanNya.

Ketika hidup di hadapan Tuhan, orang dewasa seharusnya belajar menerima anak kecil. Di sisi lain, mereka harus menjadi teladan kesucian hidup, kejujuran, ketulusan, kemurnian, keadilan dan kebenaran. Ironisnya, kadangkala anak kecil lebih murni, jujur, adil, benar dan berintegritas daripada orangtua. Berarti, ordo terbalik karena kegagalan orangtua. Maka Tuhan menuntut orang dewasa memiliki konsep kehidupan yang berintegritas.       

Walaupun masih terlalu muda, seorang anak telah memiliki konsep integritas dimana perkataan dan tindakan harus sinkron. Jika tidak, akan terjadi konflik yang beresiko besar yaitu terkena hukuman. Maka kalau tak sanggup melakukan, ia takkan berjanji. Sebaliknya, orang dewasa seringkali mengabaikan integritas hingga akhirnya harus menerima akibat dan menjadi korban effect non-integritas.

Tindakan dan perkataan para murid Tuhan Yesus sangat tak berintegritas. Dalam konsep tubuh Kristus terdapat prinsip yang berbeda dengan dunia. Sangat mungkin, Tuhan tak pernah menunjuk Yudas untuk menjadi bendahara melainkan terjadi secara natural karena Alkitab tak mencatat demikian. Dalam pelayanan, memungkinkan terjadinya permainan motivasi karena salah pengertian.

Ketika Tuhan Yesus bekerja dan mengajak para muridNya, sangat mungkin terjadi secara natural. Ketika diadakan pengumpulan dana atau pengaturan keuangan, mungkin yang paling concern (peduli) adalah Yudas. Lama-kelamaan, mereka mempercayakan keuangan padanya. Tapi, ternyata ia peduli bukan sebagai beban pelayanan melainkan karena mendapat kesempatan untuk mencuri. Dengan kata lain, kepeduliannya tak terintegritas. Dan setiap tindakan non-integrity pasti berakibat kebinasaan. Itulah hukum yang ditetapkan oleh Tuhan. Murid Tuhan Yesus pun sanggup berbuat demikian di belakangNya karena berpikir Ia tak mengetahuinya. Yudas sempat berbicara dengan sangat simpatik, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (Yoh 12:5). Tetapi, motivasinya sangat jahat.

Ketigaanak kecil memiliki perasaan kebergantungan (dependent) yang sangat besar. Dengan kata lain, anak kecil sangat helpless (butuh pertolongan, bimbingan, pembinaan, perlindungan dan pemeliharaan). Anak kecil yang mendapat pemeliharaan dan perlindungan akan merasa bergantung mutlak pada orangtuanya. Ia akan bertumbuh dengan confidence yang sangat kuat, keberanian dan ketegasan. Banyak pula anak kecil yang tumbuh dalam kondisi terbuang hingga menjadi anak yang minder, cari perhatian, selalu ketakutan serta mudah dipengaruhi bahkan dirusak. Sedangkan orang dewasa makin menyombongkan diri hingga merasa tak membutuhkan Tuhan karena merasa diri mampu. Itulah titik pembentukan fatigue. Dengan kata lain, titik puncak kemampuan sekaligus merupakan titik kehancuran. Ia telah melupakan bahwa dirinya terbatas dan kehilangan jiwa kebergantungan. Padahal sebenarnya ia butuh bergantung pada kekuatan yang lebih besar dan tak terbatas yaitu Tuhan sendiri. Makin modern, dunia merasa semakin independent.

Jiwa independence para murid sangat besar. Hingga setelah Tuhan Yesus mati dan bangkit kembali, Petrus masih sanggup mengajak murid lain untuk kembali menjadi nelayan (Yohanes 21). Dan tak seorang pun protes atau mengingatkannya. Padahal Tuhan telah membina mereka sebagai penjala manusia. Mereka merasa hopeless (tak berpengharapan) dan desparate (putus asa). Walaupun telah berusaha semalaman, mereka tetap tak mendapat seekor ikan pun. Keesokan paginya, Tuhan mendatangi mereka dan bertanya, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk pauk?” (Yoh 21:5). Lalu Ia berkata, “Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh” (Yoh 21:6). Akhirnya, mereka memperoleh 153 ekor ikan. Setelah itu, Tuhan mengajak mereka makan bersama karena Ia telah menyediakannya. Dengan demikian, Ia hendak menunjukkan bahwa manusia sebenarnya tak mampu berbuat apapun. Saat makan, tak seorang pun berani bertanya kepadaNya.

Sesudah sarapan, Tuhan bertanya pada Petrus, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” (Yohanes 21). Pertanyaan ini merupakan resolusi kerohanian orang Kristen. Jawab Petrus, “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa Aku mengasihi Engkau.” Lalu Tuhan berkata, “Gembalakanlah domba-dombaKu.” Ia mempertanyakan hal ini sampai 3 kali untuk menyadarkan Petrus akan cintanya kepada Tuhan. Setelah Ia bertanya untuk ketiga kalinya, Petrus menangis karena baru menyadari bahwa ia kurang mengasihi Tuhan. Memang Petrus ikut Tuhan dan melakukan banyak hal bagiNya tapi ia masih sangat cinta diri. Setelah ditanya oleh Tuhan, barulah ia mencintaiNya dengan sungguh. Seseorang yang mencintai Tuhan tentu akan melakukan yang terbaik bagiNya. Kadangkala, manusia membiarkan dirinya dan orang lain merenggut cinta Tuhan. Ketika Ia bertanya untuk ketiga kalinya, Petrus hanya sanggup menjawab, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (Yoh 21:17).  Amin.

Related posts

Leave a Reply